Sabtu, 19 Februari 2011

My Special One

Tepatnya 1 bulan yang lalu, gue melakukan sesuatu yang sangat berisiko. Mau tau kenapa? Begini ceritanya.

Gue inget banget, waktu itu hari Kamis tanggal 20 Januari, gue merasakan adanya suatu atmosfer yang berbeda banget sehabis gue bangun pagi. Gue pikir, "Ada apa ya? Apa gue tidur dengan posisi yang salah? Atau... Ah, perasaan gue aja doank kayaknya nih. Toh, emang pagi ini udaranya dingin banget." Gue biarin pikiran aneh itu berlalu. Lalu, gue bersiap-siap aja seperti biasa; sarapan, merapikan diri, dan berangkat ke fakultas. Tapi tetep aja, selagi gue berkendara menuju kampus, there's something bugging on my mind.


Setibanya di Tata Usaha Fakultas, gue menanyakan kepada petugas TU mengenai dokumen-dokumen apa saja yang belum dilengkapi. Setelah diperiksa, beliau memberitahukan tanggal-tanggal penting yang harus gue ingat sebelum wisuda dilaksanakan. "Oke. Terima kasih banyak ya, Pak!" Kemudian, entah kenapa, gue malah enggak langsung pulang sehabis dari TU. Gue seolah-olah "dituntun" berjalan menuju lorong di lantai yang sama; menuju ruangan-ruangan kuliah di lantai 1.

Gue intip satu kelas menuju satu kelas yang lain. Kelas yang pertama gue intip cuma ada 3 peserta kuliah. Kelas yang kedua malah kosong. Tapi, di kelas ketiga, ruang yang terakhir di lorong itu, malah penuh banget. And there she was, sitting on a chair with so much focus in that class.

Gue inget matanya melirik keluar kelas, ngeliat gue ada di luar jendela ruangan. Tapi, entah bener atau enggak, tapi dia sempat tersenyum ketika melihat gue. Jadi aja gue lambaikan tangan ke dia. Ah, that was really ridiculous, mengingat hubungan gue emang gak deket ama tu cewek.

Kemudian, gue tertegun. Gue sempat berpikir, "Apa dia mengharapkan sesuatu? Apa mungkin dia memerlukan kehadiran gue saat itu? Atau mungkin ini hanya kebetulan belaka yang sekedar omong kosong?" Hmm...

Oh, ya. Maaf gue belum sempet singgung sebelumnya. Cewek ini emang agak ambigu. Dalam arti, dia terlalu rendah hati di hadapan orang banyak. Walau secara fisik dia tidak begitu menarik seperti Tae Yeon (SNSD), sifatnya sangatlah manis. Dia tergolong cerdas di antara teman-temannya yang sebaya dan senyumnya cukup mempesona. Gue mulai terpukau ketika hasil kerjanya di semester lalu digunakan untuk presentasi sebuah seminar nasional yang digelar oleh fakultas.


Okay, let's move on. Gue kemudian menunggu kelas itu hingga waktu bubar. Beruntung, saat itu hanya dia satu-satunya peserta kuliah yang cewek. Kalau ada teman-teman cewek lain kan momennya bisa canggung. Gue sapa dia, gue ajak obrol sebentar, dan gue minta nomor handphone dia.

Keesokan malamnya, gue sms dia. Responnya cukup baik. Malah kita berdua sempat bercanda dan berkelakar dengan pertanyaan-pertanyaan ringan. Hanya saja nampaknya dia kurang lihai berkomunikasi. Padahal zodiak dia cukup atraktif; apakah mungkin ada sangkut pautnya dengan shio? Hahaha. Whatever.

Hal tersebut berlangsung cukup konstan untuk 2-3 minggu. Gue kemudian berpikir bahwa posisi gue cukup "aman", jadi gue pikir sah-sah saja seandainya gue ajak dia keluar untuk sekedar memperdekat hubungan.

Namun demikian, ternyata tidak semuanya selancar yang gue kira sebelumnya. Malah akibat ajakan gue ini, dia sekarang malah menjauh dari gue. Entah karena alasan sosial atau alasan psikologis, nampaknya secara mental dia memang masih belum siap untuk menerima perhatian yang lebih dari lawan jenis. Tapi, gue sekarang menyesal. Ya, seandainya waktu itu gue gak minta nomor handphone dia, gue (mungkin) gak bisa mengembangkan pikiran dan hati gue.

Toh, apabila ternyata dia sama-sama merasakan kehangatan yang gue berikan, gue malah bersyukur banget! Hanya saja, sekarang gue enggak bisa melakukan apa-apa, kecuali berharap saja. Semoga Tuhan mengetuk hatinya dan dia dapat membukakan pintu bagi gue lagi. Karena pada kenyataanya, gue belum ngajak dia "jadian" koq.


Selama ini, ada dua hal yang gue tau pasti.
  1. Dia ternyata menyukai tokoh kartun Mickey Mouse.
  2. Baru kali ini gue tertarik dengan cewek tanpa melihat kondisi fisik cewek tersebut haruslah cantik parasnya.
I hope you could understand how I'd felt when the first time I asked for your number. It sure brought me back on the right track, gal!

Inti Cerita:
Ibarat bermain game simulasi di komputer ("The Sims"), perasaan yang dirasakan setiap individu dapat memiliki nilai sosial yang berbeda satu sama lainnya. Ya, mungkin, dalam hal ini ada faktor ketidakberuntungan yang berperan. Hanya saja, ketulusan yang aku tunjukkan kepadamu ini memang belum terwujud.

Semoga Tuhan memberkati!

Sabtu, 12 Februari 2011

Bunda Teresa

"By blood, I am Albanian. By citizenship, an Indian. By faith, I am a Catholic nun. As to my calling, I belong to the world. As to my heart, I belong entirely to the heart of Jesus."


Itulah yang dikatakan oleh salah seorang tokoh kemanusiaan yang dipenuhi oleh cinta kasih. Bunda Teresa merupakan seorang wanita yang memberikan hatinya untuk melayani masyarakat miskin di India.

Dilahirkan di Skopje, Albania, 26 Agustus 1910, Bunda Teresa merupakan anak bungsu dari pasangan Nikola dan Drane Bojaxhiu. Ia memiliki dua saudara perempuan dan seorang saudara lelaki. Ketika dibaptis, ia diberi nama Agnes Gonxha. Ia menerima pelayanan sakramen pertamanya ketika berusia lima setengah tahun dan diteguhkan pada bulan November 1916.

Ketika berusia delapan tahun, ayahnya meninggal dunia, dan meninggalkan keluarganya dengan kesulitan finansial. Meski demikian, ibunya memelihara Gonxha dan ketiga saudaranya dengan penuh kasih sayang. Drane Bojaxhiu, ibunya, sangat mempengaruhi karakter dan panggilan pelayanan Gonxha.

Ketika memasuki usia remaja, Gonxha bergabung dalam kelompok pemuda jemaat lokal yang bernama Sodality. Melalui keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan yang dipandu oleh seorang pastor Jesuit, Gonxha menjadi tertarik dalam hal misionari. Tampaknya hal inilah yang kemudian berperan dalam dirinya sehingga pada usia tujuh belas, ia merespons panggilan Tuhan untuk menjadi biarawati misionaris Katolik.

Pada tanggal 28 November 1928, ia bergabung dengan Institute of the Blessed Virgin Mary, yang dikenal juga dengan nama Sisters of Loretto, sebuah komunitas yang dikenal karena pelayanannya di India. Ketika mengikrarkan komitmennya bagi Tuhan dalam Sisters of Loretto, ia memilih nama Teresa dari Santa Theresa Lisieux.

Suster Teresa pun dikirim ke India untuk menjalani pendidikan sebagai seorang biarawati. Setelah mengikrarkan komitmennya kepada Tuhan, ia pun mulai mengajar pada St. Mary's High School di Kalkuta. Di sana ia mengajarkan geografi dan katekisasi. Dan pada tahun 1944, ia menjadi kepala sekolah St. Mary.

Akan tetapi, kesehatannya memburuk. Ia menderita TBC sehingga tidak bisa lagi mengajar. Untuk memulihkan kesehatannya, ia pun dikirim ke Darjeeling. Dalam kereta api yang tengah melaju menuju Darjeeling, Suster Teresa mendapat panggilan dari Tuhan; sebuah panggilan di antara banyak panggilan lain. Kala itu, ia merasakan belas kasih bagi banyak jiwa, sebagaimana dirasakan oleh Kristus sendiri, merasuk dalam hatinya. Hal ini kemudian menjadi kekuatan yang mendorong segenap hidupnya. Saat itu, tanggal 10 September 1946, disebut sebagai "Hari Penuh Inspirasi" oleh Bunda Teresa.

Selama berbulan-bulan, ia mendapatkan sebuah visi bagaimana Kristus menyatakan kepedihan kaum miskin yang ditolak, bagaimana Kristus menangisi mereka yang menolak Dia, bagaimana Ia ingin mereka mengasihi-Nya. Pada tahun 1948, pihak Vatikan mengizinkan Suster Teresa untuk meninggalkan ordonya dan memulai pelayanannya di bawah Keuskupan Kalkuta. Dan pada 17 Agustus 1948, untuk pertama kalinya ia memakai pakaian putih yang dilengkapi dengan kain sari bergaris biru.

Ia memulai pelayanannya dengan membuka sebuah sekolah pada 21 Desember 1948 di lingkungan yang kumuh. Karena tidak memiliki dana, ia membuka sekolah terbuka di sebuah taman. Di sana ia mengajarkan pentingnya pengenalan akan hidup yang sehat, di samping mengajarkan membaca dan menulis pada anak-anak yang miskin. Selain itu, dengan berbekal pengetahuan medis, ia juga membawa anak-anak yang sakit ke rumahnya dan merawat mereka.


Tuhan memang tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya berjuang sendirian. Inilah yang dirasakan oleh Bunda Teresa saat perjuangannya mulai mendapat perhatian dari berbagai individu dan organisasi gereja. Pada 19 Maret 1949, salah seorang muridnya di St. Mary bergabung dengannya. Terinspirasi oleh gurunya itu, ia membaktikan dirinya untuk pelayanan kasih bagi mereka yang sangat membutuhkan.

Segera saja mereka menemukan begitu banyak pria, wanita, bahkan anak-anak yang sekarat. Mereka terlantar di jalanan setelah ditolak oleh rumah sakit setempat. Tergerak oleh belas kasihan, Bunda Teresa dan rekan barunya itu pun menyewa sebuah ruangan untuk merawat mereka yang sekarat. Pada tanggal 7 Oktober 1950, Missionary of Charity didirikan di Kalkuta. Mereka yang tergabung di dalamnya pun semakin teguh untuk melayani dengan sepenuhnya memberi diri mereka untuk melayani kaum miskin. Mereka tidak pernah menerima pemberian materi apa pun sebagai balasan atas pelayanan yang mereka lakukan.

Pada awal 1960-an, Bunda Teresa mulai mengirimkan suster-susternya ke berbagai daerah lain di India. Selain itu, pelayanan dari Missionary of Charity mulai melebarkan sayapnya di Venezuela (1965), yang kemudian diikuti oleh pembukaan rumah-rumah di Ceylon, Tanzania, Roma, dan Australia yang ditujukan untuk merawat kaum miskin. Setelah Missionary of Charity, sejumlah yayasan pun didirikan untuk memperluas pelayanan Bunda Teresa. Yang pertama ialah Association of Coworkers sebagai afiliasi dari Missionary of Charity. Asosiasi ini sendiri di setujui oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1969. Meskipun merupakan afiliasi Missionary of Charity, asosiasi ini memiliki anggaran dasar tersendiri.

Selama tahun-tahun berikutnya, dari semula melayani hanya dua belas, Missionary of Charity berkembang hingga dapat melayani ribuan orang. Bahkan 450 pusat pelayanan tersebar di seluruh dunia untuk melayani orang-orang miskin dan terlantar. Ia membangun banyak rumah bagi mereka yang menderita, sekarat, dan ditolak oleh masyarakat, dari Kalkuta hingga kampung halamannya di Albania. Ia juga salah satu pionir yang membangun rumah bagi penderita AIDS.

Berkat baktinya bagi mereka yang tertindas, Bunda Teresa pun mendapatkan berbagai penghargaan kemanusiaan. Pada tahun 1979, ia menerima John XXIII International Prize for Peace. Penghargaan ini diberikan langsung oleh Paus Paulus VI. Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh penghargaan Good Samaritan di Boston. Setelah mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun di India, tentu saja pemerintah India tidak menutup mata akan pelayanannya. Pada tahun 1972, Bunda Teresa menerima Pandit Nehru Prize. Setahun kemudian, ia menerima Templeton Prize dari Pangeran Edinburgh. Ia terpilih untuk menerima penghargaan tersebut dari dua ribu kandidat dari berbagai negara dan agama oleh juri dari sepuluh kelompok agama di dunia.

Puncaknya ialah pada tahun 1979 tatkala ia memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Hadiah uang sebesar $6.000 yang diperolehnya disumbangkan kepada masyarakat miskin di Kalkuta. Hadiah tersebut memungkinkannya untuk memberi makan ratusan orang selama setahun penuh. Ia berkata bahwa penghargaan duniawi menjadi penting hanya ketika penghargaan tersebut dapat membantunya menolong dunia yang membutuhkan. Pada tahun 1985, Bunda Teresa mendirikan pusat rehabilitasi pertama bagi korban AIDS di New York. Menyusul kemudian sejumlah rumah penampungan yang didirikan di San Fransisco dan Atlanta. Berkat upayanya ini, ia mendapatkan Medal of Freedom.

Pelayanan Bunda Teresa sama sekali tidak mengenal batas. Dipupuk di kampung halamannya, ia mengawali pelayanan di India. Dari India, pelayanannya meluas hingga ke seluruh penjuru dunia. Ia berkunjung ke Etiopia untuk menolong korban kelaparan, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa bumi di Armenia.

Memasuki tahun 1990-an, kondisi tubuh Bunda Teresa tidak mengizinkannya melakukan aktivitas yang berlebihan, khususnya setelah serangan jantung pada 1989. Kesehatannya merosot, sebagian karena usianya, sebagian karena kondisi tempat tinggalnya, sebagian lain dikarenakan perjalanannya ke berbagai penjuru dunia. Menyadari kondisi kesehatannya yang demikian, Bunda Teresa meminta Missionary of Charity untuk memilih penggantinya. Maka, pada 13 Maret 1997, Suster Nirmala terpilih untuk meneruskan pelayanan Bunda Teresa.

Bunda Teresa akhirnya meninggal dunia pada tanggal 5 September 1997 dalam usia 87 tahun. Berbagai petinggi dari 23 negara menghadiri pemakamannya. Upacara pemakaman diadakan pada 13 September 1997, di Stadion Netaji, India, yang berkapasitas 15.000 orang. Atas kebijakan Missionary of Charity, sebagian besar yang menghadiri upacara tersebut adalah orang-orang yang selama ini dilayani oleh Bunda Teresa.

Sumber : http://biokristi.sabda.org/terpanggil_bagi_kaum_miskin_kisah_singkat_pelayanan_bunda_teresa

Sabtu, 05 Februari 2011

Lompatan Iman

Ada sebuah artikel yang bercerita tentang seorang pria yang melakukan 'leap of faith'; seorang eksekutif sebuah perusahaan ternama yang kemudian berganti profesi menjadi seorang stock broker dengan memulai segalanya dari awal kembali.


Koran LA Times menceritakan tentang seorang engineer dari Korea, dengan karirnya yang cemerlang, melakukan lompatan iman dengan meninggalkan pekerjaannya dan berganti haluan menjadi seorang pendeta. Menurut pengakuannya, ia mendapat panggilan dari Tuhan untuk melayani. Ia meninggalkan karirnya dan mengambil pendidikan theologi. Dengan berbekal gelar Ph.D dari Biola University, ia melayani jemaat komunitas Korea di Los Angeles dan sekitarnya.

Sama halnya dengan Abram. Ia meninggalkan sanak keluarganya di Uhr Kasdim untuk berkelana menuju ke 'tanah perjanjian' yang tidak diketahui di mana tempatnya. Ia hanya berbekal iman kepada Tuhan yang telah memanggilnya. Kita tahu nama Abram kemudian berubah menjadi Abraham, yang memiliki arti bapak orang-orang beriman.

Pada Perjanjian Baru, Yesus melakukan lompatan iman terbesar dalam sejarah umat manusia. Yesus menyerahkan dirinya untuk disalib tanpa kesalahan apa pun. Dengan iman kepada Bapa-Nya, yang telah mengutus Dia datang ke dunia. Yesus datang untuk menebus manusia, untuk disalib.

Melakukan lompatan iman sama sekali tidak mudah. Walau terkadang membaca berbagai cerita terlihat begitu smooth seperti membalikkan telapak tangan saja. Tetapi, pada kenyataannya, penuh perjuangan dan ketekunan.


Si stock broker dikira sinting oleh teman-temannya. Sebab butuh waktu yang cukup lama untuk belajar dan belajar; jatuh bangun kembali tanpa penghasilan untuk beberapa saat. Dalam hal ini memang diperlukan ketekunan dan kerja keras untuk dapat sukses. Abram harus melewati berbagai peperangan dan rintangan di dalam kehidupannya sebelum menjadi Abraham. Yesus bermandikan keringat darah di taman Getsemane dan kedatangan seorang malaikat untuk menguatkan iman-Nya.

Berbagai orang telah melakukan lompatan iman, melangkah maju dengan menghadapi berbagai rintangan dan risiko untuk menggapai keinginannya, demi memenuhi panggilan. Mengambil langkah awal memang berat dan membutuhkan perjuangan, tetapi itu barulah permulaan. Langkah berikutnya membutuhkan ketekunan dan pantang menyerah. Rasul Paulus mengatakan bahwa barang siapa yang bertahan sampai kesudahan, dialah yang akan mendapat mahkota. Hal ini berlaku bukan hanya dalam kehidupan rohani, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa temanku ada yang berputus asa, banyak yang berhenti di tengah jalan untuk menyerah. Padahal aku tahu mereka telah bekerja keras, siang-malam membanting tulang. Mengais kehidupan bukan hanya kesediaan untuk bekerja keras, tetapi juga berjuang untuk mengatasi berbagai halangan yang ada. Masalah pertama adalah bahasa, hal berikutnya adalah pengetahuan/keterampilan. Hal-hal ini haruslah diatasi untuk bisa melangkah ke jenjang berikutnya. Aku pun mempunyai kendala yang sama. Dan itu tidak bisa dihilangkan dengan membalikkan telapak tangan saja.

Di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Di mana ada usaha, mahkota keberhasilan akan menanti.

Sumber:
http://www.glorianet.org/index.php/goeij/518-iman