Jumat, 09 Agustus 2013

Two Faces of Lebaran

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. (Roma 12:2)

Lebaran merupakan momen yang paling indah bagi saudara-saudara Muslim karena mereka merayakan kemenangan mereka atas godaan dan nafsu duniawi selama satu bulan penuh. Momen Lebaran biasanya ditandai dengan meningkatnya arus mudik menuju "kampung halaman" masing-masing pemudik. Mereka berbondong-bondong kembali ke daerah asalnya untuk bersilaturahmi dengan anggota keluarga dan sanak saudara.

Di Indonesia, momen Lebaran ini biasanya dimanfaatkan juga oleh khalayak non-Muslim untuk "ikut-ikutan" berlibur panjang. Hal ini mengakibatkan perpindahan jumlah penduduk dari daerah modern menuju daerah lain secara signifikan. Saya ambil contoh suasana kota Bandung yang relatif sepi di dua hari Lebaran ini (8 dan 9 Agustus 2013). Suasana yang sepi ini menggambarkan begitu timpangnya perbandingan mobilitas sebuah kota Bandung dibandingkan dengan akhir pekan yang biasanya dipenuhi oleh mobil-mobil berpelat nomor B (asal Jakarta dan sekitarnya).

Kota Bandung sepi pengunjung

Lain halnya dengan suasana Bali, di mana orang malah berlomba-lomba untuk menikmati liburan sambil memboyong keluarga ke tempat-tempat wisata tertentu.

Pantai Kuta menjadi padat

Saya terkadang heran, "Apakah sebegitu semunya pemikiran manusia di jaman yang modern ini?" Oke lah, seandainya ada tiket promo untuk berlibur akhir pekan di libur Lebaran ini. Tapi, bukankah lebih baik jika uang yang digunakan untuk berlibur ini disimpan demi keperluan sehari-hari?

Contoh, saya memiliki beberapa kolega yang sering mengeluh di akhir bulan bahwa mereka sedang menunggu "cendol" yang ditransfer oleh pihak kantor ke rekening masing-masing karyawan. Kebanyakan dari mereka bercerita saat makan siang, "Lagi ngirit nih, belum dapet cendol." Atau mungkin berdalih ketika diajak nonton film paling anyar ke bioskop, "Bokek, Gan. Belum ada yang bening-bening di rekening ane." Dan seterusnya, dan seterusnya, dst.

Menyikapi kejadian ini, saya hanya ingin mengingatkan supaya kita tidak menjadi takabur semata-mata oleh keadaan di sekeliling kita. Berlibur memang perlu, tapi jangan sampai menyiksa diri. Saya merasa mendengar cerita lama seandainya ada di antara kita yang mengeluhkan gaji yang tidak pernah cukup untuk hidup sebulan, tapi selalu cukup untuk dihambur-hamburkan dalam hitungan hari.

Kesannya konyol, bukan?
Hahaha, semoga tidak terjadi di antara teman-teman yang membaca artikel ini ya.

Semoga Tuhan memberkati!

Sumber: