Dua ribu tahun yang lalu, di malam yang sunyi di tengah padang, dalam situasi hidup yang menyesakkan karena penjajahan pemerintah Romawi, sekumpulan gembala yang sedang menjaga ternaknya tiba-tiba dikejutkan oleh sepasukan malaikat yang menyanyikan: "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Lukas 2:14).
Nyanyian para malaikat itu menjadi katarsis (sarana kelegaan jiwa) bagi para gembala. Mereka menyambutnya dengan sukacita. Apalagi ketika mereka mendapati bahwa apa yang dikatakan para malaikat itu memang sungguh-sungguh terjadi. Perjumpaan dengan Yesus membuat para gembala mengalami damai sejahtera.
Sekarang, di tengah berbagai kepiluan yang melanda hidup, kita juga mendengar dari berbagai pusat perbelanjaan, dari dalam mobil-mobil, dari dalam gereja-gereja, lagu-lagu yang mengumandangkan damai sejahtera di bumi; di antara manusia yang berkenan pada Allah. Untuk sesaat, kita mungkin merasakan damai sejahtera melalui lagu-lagu Natal yang kita dengar. Namun, sungguhkah damai sejahtera itu sudah terwujud?
Kalau kita mencermati apa yang terjadi di sekitar kita saat ini, di dalam maupun di luar gereja, maka kita mesti berbesar hati untuk menerima kenyataan bahwa damai sejahtera (seperti yang dimaksud dalam nyanyian para bala tentara sorgawi itu) belum terwujud. Pemerintah belum secara signifikan mewujudkan janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, membangun demokrasi yang lebih bermartabat, dan membumikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masih ada koruptor yang bebas melenggang. Ketidakadilan masih terus berlangsung di Papua. Pelanggaran terhadap hak beribadah masih terjadi. Ketidakpatuhan pejabat terhadap keputusan Mahkamah Agung (seperti dalam kasus bakal pos Taman Yasmin) masih terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga, anak-anak putus sekolah karena ketiadaan biaya, perceraian antara suami-istri, semakin meningkat. Semua hal ini semakin menegaskan bahwa damai sejahtera memang masih belum terwujud.
Dalam realitas seperti ini, kepada seluruh anggota jemaat dan simpatisan GKI, kami menyampaikan beberapa pesan berikut ini:
- Pilihlah yang benar!
Dalam menyikapi berbagai situasi saat ini, ada berbagai sikap yang bisa kita pilih. Yang paling sederhana adalah dengan bersikap apatis, atau setidaknya pasif. Sebab kita merasa tak mampu untuk menyelesaikan berbagai persoalaan yang ada. Semua dibiarkan berlalu sebagaimana adanya. Atau, kita bisa bersikap proaktif. Ketika Natal menyapa kita kembali, bukan saja lagu damai sejahtera yang kita kembali dengar, melainkan ada ajakan untuk secara bersama untuk mewujudkan damai sejahtera. Dan kita memang dapat menjadi bagian dari orang-orang yang mengupayakan agar damai sejahtera itu menjadi nyata, sebab kita sudah menerima kabar baik itu. Kita malah telah mengalami damai sejahtera itu oleh iman kepada Tuhan Yesus. - Belajarlah mengalahkan diri sendiri!
Ini bukan sesuatu yang sederhana dan mudah. Kuasa dosa yang membelenggu manusia untuk lebih sering bersikap egois, sehingga usaha untuk mengalahkan diri sendiri itu seperti berhadapan dengan ketidakmungkinan; jalan buntu! Syukur kepada Allah, sebab ternyata kita tak menemui jalan buntu. Peristiwa Natal menerobos semua ketidakmungkinan itu. Para gembala telah membuktikannya. Merespons berita Natal, mereka berkata seorang kepada yang lain: "Marilah kita pergi ke Betlehem... " (Lukas 2:15), dan bukan: "Izinkan aku pergi ke Betlehem." Berita Natal ternyata memicu semangat kebersamaan dan bukan pementingan diri sendiri.
Ketika orang bersedia untuk mendahulukan orang lain dan memberi diri untuk memungkinkan orang lain menjalani kehidupan yang lebih baik, maka damai sejahtera niscaya terwujud. Natal, kelahiran Yesus ke dalam dunia, membawa pengharapan bahwa perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri ternyata mungkin. Ia memberikan hidup-Nya bagi manusia. Ia menebus manusia dari kuasa dosa supaya manusia bisa hidup berdampingan satu dengan yang lain. Ia memberikan hidupnya agar damai sejahtera bisa terwujud.
Mari kita mulai hal ini dari lingkup yang paling kecil (keluarga) dan meluas sampai ke tengah masyarakat. Mari mewujudkan damai sejahtera dalam keluarga dengan menghindari segala wujud kekerasan dalam rumah tangga dan menjaga kesucian pernikahan.
Mari wujudkan damai sejahtera dalam masyarakat dengan terus memperjuangkan tegaknya keadilan; memberi teladan dalam kesediaan menerima perbedaan dan kesediaan untuk hidup dalam kemajemukan. Untuk mencapai semua itu, kita perlu terus bergandengan tangan dengan semua saudara kita yang memiliki semangat dan tujuan yang sama. - Jalanilah keseharian secara baru!
Perjumpaan dengan bayi Yesus telah mengubah cara pandang, bahkan sikap para gembala terhadap realitas hidup. Mereka kini menjalani hidup dengan cara yang berbeda. "Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka" (Lukas 2:20). Realitas hidup para gembala tidak berubah. Mereka kembali ke padang untuk menggembalakan domba, namun kini mereka menjalani itu dengan memuji dan memuliakan Tuhan. Kita semestinya demikian juga. Perjuangan hidup memang tak jadi berkurang atau menjadi lebih mudah; aneka keruwetan dan persoalan hidup mungkin tidak semakin berkurang. Namun, peristiwa Natal hendaknya membuat kita menjalani realitas, yang mungkin masih sama, tapi secara baru. Kita hendaknya menjalani hidup tidak lagi dengan keluhan atau amarah, melainkan dengan memuji dan memuliakan Allah. Kita tetap optimis bahwa kita akan mengalami yang lebih baik.
Selamat Natal 2011 dan Selamat Tahun Baru 2012.
Badan Pekerja Majelis Sinode
Gereja Kristen Indonesia
Sumber diambil dari Warta Jemaat GKI Kebonjati
No.52/WJ/2011 Tanggal 25 Desember 2011, Minggu Ke-4.